Menjadi Muslim di Swedia, Bagaimana Rasanya?

Motivasi / Sosial

Ditulis oleh Okita Mira

Tahun 2016 lalu saya berangkat untuk pertama kalinya ke benua Eropa, tepatnya ke Swedia, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama saya cita-citakan: melanjutkan studi di benua biru. Tidak banyak ekspektasi yang saya pasang sebagai seorang muslim, karena saya tahu saya menuju negara di mana muslim adalah minoritas. Prinsip saya sederhana saja: selama saya masih bisa melaksanakan ibadah saya dan menemukan makanan halal, saya bisa hidup dengan tenang :p

Tulisan ini tidak akan fokus mengenai bagaimana menjalani hidup sebagai muslim di Swedia secara praktis, contohnya tentang di mana berbelanja produk halal dan tempat sholat (walaupun tentu saja akan menyinggung poin-poin tersebut). Selebihnya, tulisan ini akan lebih banyak membahas perspektif saya mengenai pengalaman menjalani kehidupan sebagai muslim di Swedia secara umum, termasuk tentang bagaimana penerimaan teman-teman saya pada saya yang secara tampilan fisik saja sudah berbeda (karena berasal dari Asia dan menggunakan kerudung).

Tidak butuh waktu lama buat saya beradaptasi dengan kehidupan baru: mulai dari cara menggunakan laundry umum, memilah sampah, hingga berbelanja untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Khususnya untuk berbelanja makanan, di minggu pertama saya tiba di Gothenburg, saya mengeksplorasi berbagai supermarket untuk menyusun strategi bagaimana berbelanja daging halal. Ada dua toko halal yang cukup besar di kota Gothenburg, namun lokasi keduanya cukup jauh dari tempat tinggal saya. Buat saya, kalau setiap minggu harus ke sana rasanya agak merepotkan :p Beruntung ternyata di swalayan umum juga menjual daging ayam halal (walaupun rasa-rasanya saya belum pernah menemukan daging sapi halal di swalayan umum), jadi saya tidak perlu harus selalu menyediakan waktu untuk pergi ke toko halal.

Saya belum pernah mencari tahu dengan spesifik berapa banyak jumlah muslim di Swedia, namun dari pengamatan abal-abal hasil jalan-jalan di kota dan bergaul di kampus, saya bisa bilang cukup banyak orang muslim di sana. Setidaknya ketika saya jalan-jalan di pertokoan di tengah kota dan beribadah di mushola kampus (yes, you read it rigt. Kampus Chalmers menyediakan mushola, khusus untuk muslim, bukan ruang biasa yang bisa digunakan oleh siapa saja), saya menemukan cukup banyak perempuan berkerudung (yang saya asumsikan sebagai muslim, tentu saja). Di sisi lain, cukup suli mengidentifikasi laki-laki muslim karena tidak ada ciri khusus, jadi saya hanya berasumsi berdasarkan jumlah perempuan berkerudung yang saya lihat.

Seringkali saya harus sholat di jam istirahat singkat saat kuliah. Sebagai gambaran, satu mata kuliah biasanya memakan waktu sekitar 4 jam dalam sehari dengan istirahat singkat selama 15 menit setiap 45 menit. Ketika musim dingin, hal ini menjadi agak tricky karena waktu sholat yang amat mepet: zuhur sekitar pukul 11.30, ashar sekitar pukul 13.30, dan maghrib sekitar pukul 15.30. Jadi, kalau saya ada kuliah dari pukul 8-12 dan dilanjutkan dengan kuliah pukul 13.15-17, maka saya harus beribadah di tengah-tengah waktu kuliah. Meskipun ada mushola di kampus, seringkali lokasi kelas saya jauh dari mushola. Artinya, hampir tidak mungkin saya bisa menyelesaikan perjalanan kelas-mushola dan sholat dalam waktu 15 menit. Dalam situasi seperti itu, seringkali yang saya lakukan adalah mencari ruangan kosong atau quiet room (ruang belajar tanpa suara, siapapun yang berada di sana tidak boleh berisik). Beberapa kali saya sholat di quiet room dalam keadaan ada beberapa orang yang belajar di ruangan tersebut, namun tidak pernah ada protes yang disampaikan ke saya. Kesimpulan yang saya buat: pelajar di Swedia (atau orang Swedia pada umumnya) tidak akan peduli apa yang kita perbuat asal tidak mengganggu mereka :p

Sebagai anak kuliahan, tentu saja ada saat-saat saya harus belajar kelompok dengan teman-teman saya. Di saat begini, terkadang saya juga malas jalan kaki ke mushola, terutama ketika musim dingin hahaha. Seringkali yang saya lakukan adalah meminta izin pada teman-teman saya untuk sholat di ruangan tersebut, dan mereka selalu memberi kesempatan untuk sholat. Jadi, pada beberapa kesempatan, saya terang-terangan sholat di depan teman-teman saya di ruang belajar kelompok.

Yang saya simpulkan dari kehidupan saya di Swedia adalah, beribadah itu tidak sulit, apalagi perkara sholat. Asal kita mau, di mana saja bisa kok sholat. Terkadang, kita saja yang terlalu banyak berpikir bahwa orang lain melihat kita aneh – nyatanya tidak kok :p

Kenapa Belajar di Swedia

Motivasi

Mengapa Swedia? Selain sering tertukar nama dengan Swiss (Switzerland), Swedia juga lebih dikenal karena berbagai produk dan perusahaan antara lain Ericsson, IKEA, Scania, Oriflame, HnM, Tetra Pak dan Volvo. Sayangnya, tidak banyak yang meyadari bahwa keunggulan perusahaan – perusahaan tersebut juga didukung oleh kualitas pendidikan dan inovasi dari universitas di Swedia.

Setelah menjalani program master dan tinggal di Swedia, saya menyadari keunggulan prinsip pendidikan di negara ini, yaitu pendekatan menyeluruh (holistic approach) dan prinsip keberlanjutan (Sustainability Principal). Mahasiswa diajak untuk menganalisa dari beragam perspektif (pendekatan holistik). Selain itu, dengan prinsip keberlanjutan, mahasiswa dirangsang untuk berpikir jauh kedepan sehingga generasi depan masih bisa menikmati hal hal yang kita alami saat ini. Teknologi maupun kebijakan dirancang untuk mampu bertahan diwaktu yang lama, dan meminimalisir efek negatif terhadap lingkungan dan manusia.

Universitas – universitas di Swedia terkenal dengan keunggulan di bidang teknologi (terutama IT), teknik (engineering), biologi, kesehatan (global dan riset) dan pengembangan berkelanjutan (Sustainable Development). Peringkat Universitas di Swedia juga kompetitif diantara universitas lain di dunia, menurut Webometrics edisi Juli 2018 (http://www.webometrics.info/en/Europe/Sweden), lima Universitas terbaik di Swedia (dengan peringkat dunianya) adalah Lund University (112), Uppsala University (113), Karolinska Institute (164), Royal Institute of Technology / KTH (173) dan University of Gothenburg (197). Tentu saja peringkat ini bisa berbeda tergantung dari lembaga yang melakukan penilaian.

Sebagaimana universitas lain, tiap universitas di swedia juga memiliki keunggulan masing – masing. Sebagai contoh, Karolinska Institute, Uppsala University dan Umeå University merupakan universitas yang memiliki riset dalam bidang kesehatan yang unggul. Contoh lain, KTH dan Chalmers University memiliki fokus dalam riset bidang teknologi. Bidang studi biologi sudah menjadi salah satu fokus utama universitas di Swedia sejak lampau. Tokoh seperti Carl Linnaeus yang terkenal dengan sistem penamaan spesies (binomial nomenklatur) dan mendapat sebutan bapak taksonomi modern berasal dari Swedia dan menjalani sebagian besar pendidikan tingginya di Uppsala University. Sebagai contoh, universitas Stockholm University dan Gothenburg University juga memiliki berbagai macam riset di bidang biologi. Terlebih lagi, Swedia sangat terkenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang didukung oleh berbagai program sarjana dan master di Uppsala University, Lund University, dan Linkoping university. Jika tertarik dengan bidag agrikultur dan kedokteran hewan, SLU (Swedish Agricultural University) adalah salah satu universitas yang relatif baru tapi sangat gencar melakukan riset dalam bidang tersebut.

Sistem pendidikan di Swedia sangat menjunjung kesetaraan dan keadilan. Umumnya, universitas di Swedia memberlakukan sistem penilaian lulus (pass) dan gagal (failed) tanpa menyertakan nilai. Walaupun tidak semua universitas maupun program studi memiliki sistem penilaian tersebut. Sistem tersebut terbukti bagus dalam meningkatkan kepercayaan diri para mahasiswa terhadap hasil kerja mereka, yang dibarengi dengan masukan dari professor terhadap pekerjaan tersebut. Contoh lain, mahasiswa berhak mengulang ujian sampe berkali – kali jika belum mencapai nilai yang dibutuhkan untuk lulus, sehingga mahasiswa tidak perlu mengulang seluruh mata kuliah di semester depan. Contoh lain, mahasiswa tidak mencantumkan nama di kertas ujian, yang berarti sang profesor tidak akan mengetahui pemilik kertas ujian dan mencegah penilaian subjektif jika profesor mengenal salah satu muridnya.

Dalam proses belajar, mahasiswa dilibatkan dalam banyak projek, individual maupun kelompok, sehingga mahasiswa bisa mempraktekkan teori sembari mengasah kemampuan bernegosiasi dan bekerja sama dalam kelompok. Mahasiswa juga dipacu untuk berani mengemukakan pendapat dan professor sangat menghargai pikiran para mahasiswanya, tidak ada jawaban bodoh. Hubungan antara professor dan mahasisawa juga dianggap setara. Sangat lumrah bagi para mahasiswa untuk memanggil profesor dengan nama depan mereka, dan tanpa gelar; sesuatu yang sangat asing bagi mahasiswa dari Indonesia . Ditambah lagi, para mahasiswa sangat mudah untuk membuat janji diskusi dengan profesor, bahkan sangat mungkin melakukan pertemuan sembari fika (istilah orang Swedia untuk waktu ngopi).

Kesehatan mental mahasiswa menjadi salah satu perhatian khusus bagi universitas di Swedia. Tuntutan belajar dan kegelapan musim dingin dapat memicu stress dan bahkan depresi, hal yang umum terjadi terhadap mahasiswa. Oleh karena itu, umumnya unversitas di swedia menyediakan pusat konsultasi kesehatan, baik fisik maupun psikologi (contoh dari Uppsala University: http://www.uu.se/en/students/support-and-services/health-care/) . Salah satu hal menarik, umumnya di pusat kesehatan universitas tersedia juga ruangan ultraviolet. Sebagai orang Indonesia, kita tidak menyadari bahwa kekurangan sinar matahari bisa menyebabkan defisiensi vitamin D yang akan mengganggu kesehatan fisik dan mental. Di Swedia, saat winter matahri bersinar sangat singkat (bisa kurang dari 6 Jam), sehingga dianjurkan untuk meminum suplemen vitamin D atau mengunjungi ruangan dengan sinar ultraviolet yang juga tersedia di beberapa pusat kesehatan.

Dukungan lain yang mahasiswa menyangkut disabilitas. Sebagai contoh, sebagian besar bangunan di swedia termasuk di gedung – gedung universitas sudah mendukung aksesbilitas bagi pengguna kursi roda. Dalam hal belajar, beberapa universitas meyediakan asisten belajar untuk mencatat selama kuliah bagi mahasiswa yang membutuhkan. Bagi mahahasiswa yang menyandang disleksia, umumnya disediakan komputer untuk mengerjakan ujian tertulis. Sebagai contoh, silakan cek website dari Uppsala University mengenai support bagi penyandang disabilitas http://www.uu.se/en/students/support-and-services/disabilities/.

Sebagaimana layaknya universitas di Indonesia saat ini, universitas di Swedia juga menyediakan komputer yang umumnya bisa digunakan 24 jam oleh para mahasiswanya. Begitu juga dengan perpustakaan yang bisa diakses 24 jam. Sangat lazim untuk melihat mahasiswa yang belajar dikedua ruangan tersebut hingga larut malam, terutama saat musim ujian. Yang lebih menarik lagi, sebagaimana umumnya, mahasiswa bisa memanfaatkan fasilitas wifi di seluruh gedung di universitas asal mereka. Selain itu, universitas di swedia juga terhubung dengan jaringan wifi eduroam yang memungkinkan untuk tersambung dengan wifi di seluruh gedung universitas di Uni Eropa.
Secara garis besar, Swedia merupakan negara tujuan belajar yang patut dipertimbangkan selain negara – negara lain di Eropa yang sudah umum dituju oleh mahasiswa Indonesia. Satu hal yang tidak bisa dibandingkan adalah, di Swedia kita bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan Aurora (Northern Light).